Monday 23 October 2017

Cara Mengetahui Illat Hukum Forex


Hukum Forex Trading Menurut Pandangan Islamica - Aggiornamento artikel Kali ini Blog Caratip akan memberikan Info Forex yaitu bagaimana hukum Forex Trading menurut islam. Bagi Anda yang mau bermain di Bisnis forex trading tentunya penasaran dan ingin Tahu sebenarnya hukum forex ini haram ataukah halal. Sebenarnya hukum Forex ini tergantung dari cara bisnisnya sama halnya seperti di bisnis Multi Level Marketing. Menurut fatwa MUI sendiri hukum Forex Trading ITU di katakan halal jika memenuhi Kritéria tertentu. Untuk Lebih jelasnya Simak ulasannya berikut ini. Seperti halnya bisnis MLM (Multi Level Marketing), hukum Bisnis Forex Trading Dalam islam ITU Bisa Visualizzati di recente dari cara dan mekanisme kerjanya. Hukum Bisnis forex trading ITU dikatakan Karena halal memang melakukan perdagangan Jual beli mata uang Asing. Bisnis forex trading termasuk ke Dalam kategori masalah hukum Islam yang kontemporer. Hukumnya bersifat ijtihadiyyah yang masuk Dalam ranah hukum fi ma la Nasha FIH (Tidak memiliki referensi hukum yang Pasti). Maka dari itu, untuk dapat mengelompokkannya ke Dalam bisnis yang diperbolehkan atau dilarang menurut islam, Perlu ada yang Usaha Lebih Cermat, terutama Dalam Melihat pola dan mekanisme forex. Syariat Islam Telah Allah l'Altissimo. turunkan sebagai tuntunan hidup yang mengakomodir kebutuhan manusia sesuai dengan kekinian. Al-Quran dan HADITS menyempurnakannya dengan mengetengahkan Norma bisnis Umum dan prinsif-prinsipnya yang Tidak Boleh dilanggar. Prinsip Umum forex trading disamakan dengan Jual beli EMAS atau Perak seperti yang berlaku pada masa Rasulullah, yakni Harus dilakukan dengan Kontan atau Tunai (naqdan) agar bebas Dari transaksi ribawi (riba Fadhl). Hadis Rasulullah memberikan penjelasan mengenai transaksi Jual beli enam komoditi barang yang termasuk kategori berpotensi ribawi. Sabda Rasulullah visto: 8220Emas hendaklah dibayar dengan EMAS, Perak dengan Perak, Barli dengan Barli, sya8217ir dengan sya8217ir (Jenis Gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, Dalam Hal sejenis dan sama haruslah Secara Kontan (Yadan biyadinnaqdan). Maka apabila Berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan condizioni Costi Secara kontan.8221 (HR. Musulmana). Dengan Hadis berdasar Pada yang disebutkan di ATAS, Dalam Kitab al-Ijma8217, Hal. 58-59, Ibnu Mundhir membuat Sebuah analagi tentang hukum forex menurut Islam. Menurutnya, Bisnis forex sama dengan pertukaran EMAS dan Perak, Yang Dalam terminologi fiqih dikenal dengan istilah Sharf yang keabsahannya Telah disepakati para ulama. Dengan demikian, EMAS dan Perak sebagai mata uang dilarang ditukarkan dengan sejenisnya, misal Rupiah ditukarkan dengan Rupiah (IDR) atau Dolar kepada US Dolar (USD), kecuali nilainya Setara atau sama. Jika hal ini dilakukan dikhawatirkan akan Muncul potensi riba Fadhl sebagaimana yang dilarang Dalam HADITS di ATAS. Namun, ketika jenisnya Berbeda, seperti Rupiah ditukarkan ke Dolar atau sebaliknya, Maka ITU dapat dilakukan sesuai dengan di prezzo pasar (tasso di mercato) a pronti Yang berlaku Saat ITU dan Harus kontanon (taqabudh fi8217li) berdasarkan kelaziman pasar (taqabudh hukmi). Perkara Kontan Dan Tunai, sebagaimana dikemukakan Ibnu Qudamah Dalam Kitab al-Mughni, didasarkan pada kelaziman pasar yang berlaku, termasuk ketika penyelesaiannya (liquidazione) Harus melewati beberapa marmellata Karena Harus melewati prose transaksi. Adapun di prezzo pertukarannya didasarkan atas kesepakatan penjual dan pembeli Serta sesuai dengan tasso di mercato. Berdasarkan pembahasan Tadi, fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28DSN-MUIIII2002 tentang Kegiatan Transaksi Jual-Beli Valas pada prinsipnya dibolehkan, asalkan memenuhi ketentuan sebagai berikut. Tidak untuk spekulasi (Untung-untungan) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-Jaga (Simpanan) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya Harus sama dan Secara Tunai (attaqabudh) Dan Apabila berlainan Jenis maka Harus dilakukan dengan nilai Tukar (Kurs) yang berlaku pada Saat transaksi dilakukan dan Secara Tunai JUAL BELI VALUTA Asing DAN Saham Yang dimaksud dengan Valuta Asing Adalah mata uang Luar Negeri seperi dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malesia dan sebagainya. Apabila antara Negara terjadi perdagangan internasional maka TIAP Negara membutuhkan Valuta Asing untuk alat Bayar Luar Negeri yang Dalam dunia perdagangan disebut Devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh Devisa dari Hasil ekspornya, sebaliknya importare, Indonesia memerlukan Devisa untuk mengimpor dari Luar Negeri. Dengan demikian Timbul akan penawaran dan perminataan di borsa Valuta Asing. setiap Negara berwenang Penuh menetapkan Kurs uangnya Masing-Masing (Kurs Adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang Asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun Kurs uang atau perbandingan nilai Tukar setiap Saat Bisa berubah-Ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi Negara Masing-Masing. Kurs Pencatatan uang dan transaksi Jual beli Valuta Asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982 Hal 76-77). Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA Tentang JUAL BELI MATA Uang (AL-Sharf). Pertama. Ketentuan UmumBAB Ho PENDAHULUAN Untuk memahami makna dan hakikat hukum atau aturan-aturan yang Telah disyariatkan Allah l'Altissimo. 8212 yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan UMAT manusia 8212 bukanlah persoalan yang Mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang Telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakikatnya. Meskipun demikian, Kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan dan memahami keberadaan Alasan-Alasan APA yang melatarbelakangi penetapan hukum aturan-aturan tersebut 8212 di samping terkait Pula dengan prosedur APA yang dapat dipergunakan untuk mengetahui dimaksud Alasan-Alasan. Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan Suatu Hal yang penting, tetapi Juga merupakan sesuatu yang Harus dilakukan agar makna dan nilai Suatu ketentuan hukum Syara yang Telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya Oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut. Dalam kegiatan Istinbth hukum yang dilakukan Oleh para ulama ushul - sepanjang Sejarah pemikiran hukum - salah Satu persoalan yang palizzata mendasar dan yang banyak menimbulkan diskusi di kalangan mereka Adalah menyangkut Alasan-Alasan APA saja yang mendasari atau yang melatarbelakangi Suatu ketetapan hukum Syara. Berdasarkan pertimbangan Sehat Akal, bahwa Segala ketentuan hukum yang Telah ditetapkan Oleh Allah Meals mempunyai tertentu Alasan-Alasan dan mengandung Hikmah yang hendak dicapai. Sebab, Jika Tidak demikian, Maka ketentuan-ketentuan hukum yang Telah ditetapkan Oleh Allah ITU Tidak ada gunanya dan hal ini tentu Tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa Segala ketentuan hukum yang Telah ditetapkan Allah tersebut Meals terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan Meals ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi UMAT manusia Dalam kehidupan ini Baik di Dunia maupun di akhirat nanti . Secara Lebih tegas Lagi dapat dinyatakan bahwa Segala ketentuan hukum yang Telah ditetapkan Allah baik perintah maupun larangan, di samping bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh UMAT manusia, Juga mempunyai Alasan-Alasan atau latarbelakang tersendiri. Sejalan dengan Maksud ini, Maka dapat disebutkan bahwa setiap perintah dan larangan Meals mempunyai Logis Alasan-Alasan (nilai hukum) dan tujuannya Masing-Masing. Pandangan ini memberikan pengertian bahwa Suatu ketentuan hukum ITU tidaklah Lahir atau ditetapkan begitu Saja, tetapi ada Faktor-faktor yang mendorong keberadaannya ITU. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, Hal Yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk Melihat dan menentukan kira-kira APA yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi Suatu ketentuan hukum Syara tersebut. Untuk memahami Dan mengetahui APA Yang menjadi pendorong (Alasan-Alasan Logis) dari semua ketentuan hukum yang Telah ditetapkan ITU, Maka para ulama ushul berupaya meneliti Nash al-Quran dan al-Sunnah dengan Melihat hubungan Antara Suatu ketentuan hukum dengan Alasan Yang mendasarinya (causale 8211 Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan Suatu teori yang kemudian Dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut denganillat hukum atau Tall al-Ahkm (), yaitu teori ke-Illat-an hukum. Teori ke-Illat-un atau hukum Illat hukum (Tall al-ahkm) pada prinsipnya mengkaji dan membicarakan tentang APA yang menjadi Illat atau manth al-hukm (), yaitu pautan hukum Serta APA Pula yang menjadi Indikator bahwa Illat yang dimaksud Adalah merupakan Alasan yang dijadikan dasar Dalam penetapan hukum tersebut. Di samping itu, bagaimana pula prosedur atau Langkah-Langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan Suatu Illat hukum Serta apa-APA saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari Suatu Illat tersebut. Kemudian, pembahasan tentang Illat hukum ini Juga Akan Melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyariatan hukum (maqshid al-syarah). Pertanyaan-pertanyaan di ATAS merupakan Faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang Illat. Artinya, dari Sini akan terlihat bagaimana eksistensi dan posisi Illat yang dipandang sebagai Faktor penentu atau Alasan yang dapat Tidak dipisahkan dari pensyariatan hukum Syara. Bertitik Tolak dari Sini ulama ushul merumuskan teori Illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat Dalam kegiatan istinbth al-ahkm (penggalian Dan penetapan hukum). Atas dasar kerangka pemikiran ini, Maka ulama Ushul Fiqh mendeduksikan Suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan ada dan tidak adanya Illat. Artinya Illat-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallf menyebutkan: Maksudnya bahwa hukum-hukum Syara ITU dilatarbelakangi Oleh ada dan Tidak adanyaillat, Bukan Oleh hikmahnya. Pandangan ini Semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi Illat Dalam hubungannya dengan pensyariatan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu menjadi Illat kata kunci yang sangat menentukan Dalam upaya untuk memahami APA yang melatarbelakangi Suatu ketetapan hukum Syara tersebut. tetapi Akan, pandangan di ATAS mengundang Suatu pertanyaan, yaitu apakah setiap penetapan hukum Oleh Allah terpaut dan tunduk kepada Illat-nya dan bagaimana Hal tersebut dapat dipahami Ternyata, Dalam prakteknya, menimbulkan perdebatan di kalangan ulama Kalam yang kemudian diikuti ulama ushul, Karena Tidak semua ketentuan hukum dapat dipahami dan ditangkap Oleh akal manusia APA yang menjadi Illat pensyariatannya. Banyak ketentuan hukum Syara Tidak dapat dipahami Secara rasional APA yang menjadi Illat penetapannya. Aspek Inilah yang kemudian Oleh Ulama Ushul dikategori-kan kepada persoalan taabbud. Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada Illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan Syara mempunyai Logis Alasan-Alasan (Nilai hukum), Dan Alasan-Alasan Logis ITU sebagian ada yang disebutkan Secara Jelas dan sebahagian lain Saja diisyaratkan, Serta ada yang pula Harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa Illat hukum ITU Selalu Ada, Hanya Saja sebagian dari itu Illat tetap saja Tidak dapat dijangkau Oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan Ibadah. Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang dapat Tidak dijangkau Illat-nya Oleh manusia nalar, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan taabbud, dan terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka 8212 ulama ushul 8212 menyebutnya dengan sebab. Artinya antara Suatu ketentuan hukum dengan Alasan yang melatarbelakangi penetapannya Tidak dapat diketahui hubungannya Oleh Jelas Secara Akal. Sebagai contoh, bahwa di Dalam al-Quran diperintahkan untuk mengerjakan Shalat Zhuhur setelah tergelincirnya matahari. Allah berfirman: 8230 17: 78. Dirikanlah Shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari (QS Al-Isr17:. 78) Di Sini, hubungan Antara perintah mengerjakan Shalat Zhuhur dengan tergelincirnya matahari Tidak dapat diketahui dan Sulit dipahami Oleh Akal. Oleh Karena itu, Hal ini tidaklah dinamai denganillat, tetapi disebut dengan sebab. Banyak ketentuan hukum Syara yang Sulit dan tidak dapat dipahami Oleh akal manusia bagaimana hubungan logisnya dengan Alasan-Alasan Yang melatar-belakanginya. Bila berhadapan dengan persoalan seperti ini, Maka sebagian ulama ushul mengatakan haruslah Visualizzati di recente dari Segi nilai yang terkandung di dalamnya dan tujuan disyariatkannya hukum Syara. Nilai Dan tujuan yang hendak dicapai Oleh Suatu ketentuan hukum Syara yang Telah ditetapkan di Dalam Nash 8212 Baik perintah maupun larangan 8212 Adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi UMAT manusia baik memberi manfaat bagi manusia maupun menghindarkan mereka Dari kemudaratan. Oleh Karena itu, Yang mendorong penetapan Suatu ketentuan hukum Syara Adalah kemaslahatan ITU sendiri. Jadi berdasarkan pandangan yang disebutkan terakhir ini ternyata tujuan hukum dijadikan sebagai Illat Yang melatar-belakangi penetapannya. Tujuan hukum ITU di kalangan ulama disebut dengan Hikmah. Jika demikian halnya, Maka penetapan hukum didasarkan kepada Hikmah. Artinya, setiap ketentuan hukum Syara dibangun atas dasar Hikmah dan Hikmah ITU Pula yang menjadi pautan hukum atau Illat. Pandangan ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul Antara yang menerima dan yang menolak Hikmah dijadikan sebagai Illat atas penetapan hukum Syara, Karena apa Yang disebut dengan Hikmah ITU pada dasarnya sesuatu Yang Samar-Samar, perkiraan dan anggapan saja yang kepastiannya Belum dapat diakui. Dalam hubungan ini, contoh Kasus berikut ini dapat dijadikan Bahan perbandingan. Dalam al-Quran disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan Tidak berpuasa pada Bulan Ramadhan. Allah berfirman: 8230 8230 2: 184. Maka barang Siapa diantara kamu yang sakit atau Sedang Dalam perjalanan (boleh Tidak berpuasa) Maka hendaklah ia perhitungkan pada hari-hari yang lainnya (QS Al-Baqarah2:. 184) Berdasarkan Ayat di ATAS berlaku ketentuan hukum bolehnya orang sakit Tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum Syara dibolehkannya orang sakit Tidak berpuasa pada bulan Ramadan Tidak dapat diketahui Secara Meals APA Illat yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pemikiran berpaling kepada Hikmah yang dijadikan sebagai Illat yang mendorong ketetapan hukum Syara tersebut, yaitu untuk menghilangkan kesulitan atau APA yang disebut dengan istilah masyaqqat. tetapi Akan, kesulitan (masyaqqat) yang dijadikan sebagai pendorong dibolehkannya bagi orang sakit Tidak berpuasa pada bulan Ramadan sebetulnya hal yang Samar Samar-dan tidak Pasti. Sebab, ternyata Tidak semua orang mempunyai kondisi yang sama ada yang merasakan kesulitan dan banyak Pula orang yang Tidak merasakannya. Dengan demikian, Adalah Tidak tepat menetapkan Suatu hukum Hanya berdasarkan kepada Hikmah Yang keberadaannya Samar-Samar. Oleh Karena itu kalangan jumhur menolak ber-Illat dengan Hikmah semata-mata. tetapi Akan, al-mezzo menerima Hikmah sebagai Illat Secara bersyarat, yaitu Hikmah ITU Harus Jelas dan jika Tidak Jelas maka Tidak dapat dijadikan sebagai Illat yang mendasari ketetapan hukum Syara. Lebih Jauh terlihat Pula ada yang ulama Tidak membolehkan mengaitkan ketetapan hukum Syara kepada Illat sama sekali, Karena Hal tersebut menurut mereka berarti menganggap Allah Tidak sempurna. Segala Padahal sesuatu yang ditetapkan Allah Tidak tergantung kepada di Più Allah berbuat menurut pilihannya sendiri. Kelompok ini dikenal dengan sebutan nafy al-alto () yaitu golongan Yang menolak ke-Illat-an hukum. Mereka ini terdiri dari sebagian pengikut Asyariyah, dari sebagian filosof dan di kalangan ulama ushul Antara rimasto Zhahiryah. Bila dicermati Lebih Jauh, perbedaan ini Tidak saja terjadi Dalam Melihat APA yang menjadi Illat dari Suatu ketentuan hukum, tetapi Juga Dalam penyebutan atau penamaan terhadap Illat tersebut Serta prosedur atau Langkah-Langkah yang ditempuh menetapkannya untuk. Dan Juga Dalam persyaratan yang digariskan bagi eksistensi Illat tersebut. Akibat dari perbedaan tersebut di ATAS, Tampak dengan Jelas pengaruh terhadap eksistensi Illat ITU sendiri dan nilai atau Warna hukum yang dihasilkan. Dengan kata lain, perbedaan seperti digambarkan di ATAS membawa pengaruh yang cukup Luas Dalam penetapan hukum Syara. Hal ini Tidak saja terlihat pada Kasus-Kasus yang ada nashnya, sebagaimana dicontohkan di ATAS, tetapi Lebih-Lebih Lagi pada kasuskasus Baru atau masalah-masalah kontemporer yang Tidak ada nashnya, Yang setiap Saat bermunculan sebagai akibat dari perkembangan dan Kemajuan ilmu pengetahuan dan Teknologi Dalam SEGALA bidang. Terhadap Kasus-Kasus yang ada nashnya dan Telah ditetapkan ketentuan hukumnya di kalangan ulama Juga terdapat perbedaan Dalam memahami Illat-nya. Misalnya Kasus yang berkaitan dengan kebolehan Musafir melakukan qashar Shalat. Tentang qashar Shalat ini terdapat dua pandangan yang Berbeda Dalam penetapan Illat-nya. Pandangan Pertama mengatakan bahwa Illat bolehnya Musafir melakukan qashar Shalat tersebut Adalah Karena adanya kesulitan (masyaqqat). Artinya, Jika Tidak ada kesulitan tentu Tidak ada keizinan atau dibolehkan melakukan qashar Shalat Bagi Musafir. Sebaliknya, pandangan kedua mengatakan bahwa bolehnya Musafir melakukan qashar Shalat Illat-Nya Bukan kesulitan, tetapi Safar ITU sendiri. Terhadap Kasus ini dapat dikatakan bahwa Suatu keadaan yang Abstrak dan tidak dapat diukur Tidak dapat dijadikan Illat. Oleh Karena itu Kasus qashar Shalat dengan Illat masyaqqah (kesulitan) Tidak dapat diterima Karena akan Berbeda pada setiap orang dan relatif Tidak ada ukurannya. Apalagi Dalam perkembangan dunia moderno sekarang ini APA yang disebut masyaqqah itu untuk mengerjakan Shalat bagi Musafir Dalam perjalanan relatif hampir Tidak Ada Lagi. Jadi, dapat dipahami bahwa kebolehan qashar Shalat bagi Musafir ITU sebetulnya terkait dengan hubungan sebab akibat dan Inilah yang disebut dengan sebab, dan Tidak dinamai dengan Illat. Demikian Juga halnya dengan Kasus-Kasus baru dan atau masalah-masalah kontemporer yang ada Tidak nashnya, Yang banyak ber-Illat kepada nilai dan tujuan yang terkandung Dalam Suatu ketentuan hukum. Contoh Kasus tentang ini Adalah keputusan Komisi Fatwa MUI Pusat tentang hukum memakan dan budidaya Kodok. Dalam keputusan tersebut dijelaskan, membudidayakan Kodok Hanya untuk diambil manfaatnya, Tidak untuk dimakan tidaklah bertentangan dengan AJARAN Islam. Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI di ATAS Tidak tegas, Karena Tidak semua ulama menerima keputusan ini, sebab Lebih condong mempertimbangkan nilai Ekonomi meskipun persoalan Kodok ini, Jauh sebelumnya Telah menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab. Mencermati apa yang Telah dipaparkan Di ATAS, Maka masalah Illat hukum ini sangat Perlu untuk diteliti dan dikaji Secara mendalam agar diperoleh Gambaran yang Lebih Jelas terhadap eksistensinya dan fungsinya Dalam penetapan hukum. Kecuali ITU, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, Yang mempengaruhi Corak pemikiran hukum Syara Sudah tentu Tidak dapat dipisahkan dari perbedaan pemahaman mereka tentang teori Illat yang berkembang dan penerapannya Dalam penetapan hukum pada setiap Kurun waktu. Dalam penelitian ini, sengaja dibatasi kajiannya pada teori Illat hukum yang merupakan bagian yang Tidak terpisahkan dari metodologi penetapan hukum Islam (tharqat Istinbth al-Ahkm). Kajian tentang Illat hukum Adalah menyangkut persoalan yang sangat penting, Karena ia membahas Akan Alasan-Alasan yang melatarbelakangi lahirnya ketetapan hukum Syara. Oleh sebab itu, agar kajian ini Lebih Fokus, Maka yang menjadi permasalahan yang mendasar Dalam penelitian ini Adalah APA sebenarnya Illat hukum ITU dan bagaimana fungsikedudukannya Dalam penetapan hukum Syara Dari pertanyaan Pokok ini, Maka permasalahn Pokok dapat dirumuskan sebagai berikut (1) bagaimana rumusan Illat dan condizioni Costi-condizioni Costi yang ditetapkan baginya (2) prosedur apa saja yang ditempuh Dalam penetapan Illat tersebut (3) APA saja yang dijadikan landasan sebagai Sumber penetapan Illat (4) bagaimana fungsi dan kedudukan Illat Dalam penetapan hukum Pokok permasalahan-permasalahan yang disebutkan ini akan dikembangkan Dalam pembahasan berkutnya, Antara rimasto (a) Illat dan kaitannya dengan tujuan hukum (maqshid al-syarah), (b) Illat dan pengembangan hukum Islam Serta (c) Illat dan masalah-masalah kontemporer. Berpijak dari rumusan dan Batasan masalah yang Telah dikemukakan di ATAS, Maka tujuan Yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi teori Illat dan fungsinya Dalam penetapan hukum Syara yang meliputi, rumusan Illat dan condizioni Costi-syaratnya, prosedur yang ditempuh Dalam penetapannya, landasan Yang menjadi pijakan Dalam penetapan Illat, fungsi dan kedudukan Illat Dalam penetapan hukum Syara, Illat dan kaitannya dengan tujuan hukum Syara (maqshid al-syarah), Illat dan pengembangan hukum Islam Serta Illat dan masalah-masalah kontemporer. Sejauh yang dapat penulis telusuri bahwa terdapat beberapa Karya baik yang berbentuk buku ataupun Hasil penelitian yang Telah mengkaji persoalan Illat hukum ini. Buku tersebut Adalah Karya Imam al-Ghazl (450-505H1058-1111) yang ditahqiq Oleh Hammd al-kubais dengan berjudul Syif al-Ghall f Bayn al-Syabh wa al-Mukhayyal wa Maslik al-alto. Kajian yang diuraikan Dalam buku ini menjelaskan persoalan Illat dan qiys. Pada bagian muqadimah dari buku ini menjelaskan masalah qiys dan pembagiannya, makna Illat dan dillah. Pada bagian berikutnya membahas cara mengetahui sifat Illat dan Langkah-Langkah yang ditempuh Dalam penetapannya, perbedaan Illat dengan Sabab, penetapan Illat dengan IJM, istidhll dengan Illat munsabah dan pandangan ulama. Pada bagian berikutnya membahas APA saja yang dapat dijadikan Illat, macam-macam al-munsabah dan batasannya, Serta Dalil-Dalil penggunaannya, maqaid al-syarah dan Illat. Pada bagian Akhir ini ini buku menguraikan penggunaan Hikmah sebagai Illat hukum. Kemudian, Musthaf Syalab. Juga menulis tentang Illat hukum, dengan judul Talil al-Ard Ahkm wa Tahll Tharqat al-Alto wa Tathawwartih F Ur al-Ijtihd wa al-Taqlid. Musthaf Syalab menguraikan Dalam buku ini hal-hal yang meliputi Illat pada masa sebelum penyusunan Ushul Fiqh dan periode Ijtihad. Pembahasan berikutnya menjelaskan cara penunjukkan al-Quran dan al-Sunnah tentang Peng Illat-un hukum, cara sahabat Dalam menentukan Illat, Illat pada periode penyusunan Ushul Fiqh dan pendekatan dikalangan para ulama tentang Illat hukum, hakikat Illat di kalangan ulama Ushul, Illat dan condizioni Costi-syaratnya, Dan Hikmah, al-munsabah dan pembagiannya. Musthaf Syalab Juga membahas persoalan Malahat dan kaitannya dengan Illat Serta istihsn dengan Malahat. Selanjutnya kajian tentang Illat berupa Hasil penelitian disertasi dan tesis dapat Pula dikemukan berikut ini Karya Juhaya S. Praja misalnya, Dalam penelitian disertasinya yang judul Epistimologi Hukum Islam (Suatu Telaah tentang Sumber, Illat dan Tujuan Hukum Islam Serta Metoda-Metoda Kebenarannya Dalam Sistem Hukum Islam Menurut Ibnu Taimiyah. Dalam penelitian ini Juhaya S. Praja membahas Illat sebagai salah Satu sub bab dari Disertasinya dan menempatkannya pada bab Metodelogi hukum Islam. Pembahasan ini mengungkapkan pandangan Ibnu Taimiyah tentang Illat yang meliputi pengertian Illat, Illat dan tujuan hukum Serta cara-cara mengetahui Illat. Hasil penelitian rimasto Adalah Juga penelitian disertasi yang ditulis Oleh Rafii Nazari yang berjudul Illat dan Dinamika hukum Islam. penelitian ini memang merupakan penelitian yang Secara khusus mengkaji persoalan Illat hukum. Dalam penelitian ini Rafii Nazari membahas dan menguraikan Illat dan condizioni Costi-syaratnya. Cara Illat penentuan, dan landasannya, Peranan Illat Dalam Penetapan hukum Islam Serta Illat dan Dinamika hukum Islam. Penelitian serupa dapat Pula ditemukan dari Hasil penelitian yang dilakukan Oleh Yazwardi dengan judul Konsep Illat Dalam Qiyas Menurut al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian tesis yang berupaya mengungkapkan pemikiran Imam al-Ghazl tentang Illat yang meliputi Pengertian Illat, ruang lingkup metodologi Illat dan klasifikasinya Serta kesalahan Dalam metodologi Illat. Penelitian Yazwardi ini Hanya Melihat dan mengkaji kedudukan Illat Dalam hubungannya dengan qiys menurut pemikiran al-Ghazl. Dari beberapa Hasil penelitian yang Telah dikemukakan di ATAS Belum terlihat pembahasan atau kajian yang menjelaskan Secara mendalam tentang Illat Dalam kaitannya dengan penetapan hukum Syara terutama yang berhubungan dengan eksistensi Illat dan pengembangan hukum Serta keterkaitannya pula dengan masalah-masalah kontemporer yang Terus Muncul dari waktu ke waktu . Pengkajian Illat Dalam hubungannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer Adalah sesuatu yang Baru Dalam pemikiran Ushul Fiqh. Oleh Karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, Karena Belum dibahas Secara mendalam Oleh terdahulu peneliti-peneliti.

No comments:

Post a Comment